Seiring kemajuan teknologi, dunia pendidikan pun juga menjadi berkembang. Terlihat dari berbagai model, metode, strategi bahkan media pembelajaran yang semakin beragam digunakan oleh guru. Inovasi juga di hasilkan dari berbagai media yang dikemas menggunakan teknolgi terkini. Guru cenderung menjadi konten kreator agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dan pembelajran juga menyenangkan. Apabila pembelajaran menyenangkan maka siswa akan mudah memahami isi pembelajaran.
Perkembangan dunia pendidikan seiring dengan kemajuan teknologi juga berdampak pada karakter siswa. Dengan adanya teknologi siswa menjadi mudah mengakses informasi yang diinginkan hanya degan berselancar melalui internet.Hal inilah yang menyebabkan siswa menjadi jarang sekali untuk membaca buku atau bahkan datang ke perpustakaan. Siswa menjadi asik dengan gawai yang mereka miliki karena gawai menyediakan fasilitas secara instan untuk memperoleh informasi.
Sesuai Artikel dari Website Kominfo yang ditulis oleh Evita Devega UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Riset berbeda bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.Berdasarkan literatur berikut sebagian besar siswa memiliki akses untuk membaca namun tidak dipergunakan secara benar dan layak. Padahal literasi merujuk kecakapan untuk menulis dan memperoleh pengetahuan. Sesuai isu global tersebut pembiasaan membaca perlu ditingkatkan mulai dari lingkungan sekolah.
Permatasari (2015 : 148) Keberaksaraan atau literasi dapat diartikan melek teknologi, melek informasi, berpikir kritis, peka terhadap lingkungan, bahkan juga peka terhadap politik. Seorang dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaan tersebut. Sesuai pendapat tersebut bahwasanya literasi tidak hanya tentang minat membaca buku, namun lebih pada kepekaan siswa dalam memperoleh informasi yang tepat guna untuk mendukung pembelajaran atau meningkatkan pengetahuan yang positif. Oleh karena itu, perlu adanya model pembelajaran yang merangsang siswa untuk mengakses informasi yang terkait.
Salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kepekaan literasi siswa adalah model pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Barrett (2011: 4) menguraikan bahwa PBL merupakan pembelajaran yang dihasilkan dari suatu proses pemecahan masalah yang disajikan di awal proses pembelajaran. Siswa belajar dari masalah yang nyata dalam kehidupan sehari-hari, mengorganisasi, merencana, serta memutuskan apa yang dipelajari dalam kelompok kecil. Dalam proses pembelajaran inilah siswa akan mencari alternative pemecahan masalah berdasarkan apa yang telah mereka pelajari dan analisis.
Salah satu pembelajaran yang menggunakan Problem Based Learning (PBL) adalah pembelajaran Seni Budaya. Literasi budaya perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh siswa agar siswa memperoleh pengetahuan tentang Local Genius yang terdapat di lingkungan sekitarnya. Selain berselancar di Internet terkait budaya daerah, siswa juga dapat berkunjung pada tempat-tempat yang memberikan mereka informasi terkait budaya daerah, seperti pelaku kerajinan, galeri, museum atau bahkan melakukan wawancara kepada pelaku budaya.
Sesuai dengan sintak atau langkah pembelajaran Problem Based Learning (PBL) yang pertama dilakukan adalah orientasi siswa pada masalah, dalam langkah ini siswa diberikan stimulus terkait budaya daerah, misalnya siswa diperlihatkan macam-macam motif ragam hias khas daerah Belitung. Kemudian siswa dibentuk kelompok diskusi dan pengamatan tentang apa yang akan diamati, langkah tersebut merupakan sintak yang kedua yaitu mengorganisasi siswa untuk belajar. Setelah siswa berdiskusi dalam kelompoknya, siswa melakukan penyelidikan kelompok dengan mengidentifikasi pola ragam hias yang terdapat di lingkungan sekitarnya. Ketika melakukan identifikasi inilah siswa dapat mencari informasi dari internet maupun social media terkait budaya daerahnya, selain itu siswa juga dapat melakukan pengamatan secara langsung kepada pelaku budaya atau galeri pengrajin untuk mendapatkan keragaman ragam hias yang ada di daerahnya.
Dalam kegiatan penyelidikan ini siswa dapat meakukan diluar jam sekolah. Tentunya dengan melibatkan peran serta orang tua dalam membimbing dan mengarahkan. Siswa dapat melakukan belajar mandiri untuk memperoleh informasi. Orang tua juga akan memiliki waktu untuk bounding kepada anaknya dalam kegiatan pembelajaran. Siswa juga bebas berekpresi dan mengeluarkan idenya dalam mendapatkan informasi pembelajaran yang dibutuhkan.
Setelah melakukan identifikasi, siswa kemudian memaparkan hasil karya atau laporan perihal budaya daerah khususnya ragam hias khas Belitung dengan berbagai versi. Siswa bebas mengeksplorasi hasil karyanya dengan membuat laporan, infografis maupun video vlog. Selanjutnya, siswa melakukan presentasi tentang hal-hal yang telah mereka daptkan. Ketika presentasi itulah guru maupun teman sekelas dapat mengapresiasi hasil karya yang telah dipaparkan.
Dari Model pembelajaran ini yang semula ragam hias dikenal hanya untuk kalangan tertentu, siswa juga dapat mempelajarinya dengan gaya belajarnya sendiri. Siswa akan memiliki stimulus untuk mencari informasi dari manapun dan kapanpun, selain itu juga siswa menjadi lebih peka terhadap budaya di sekitarnya. Dari transfer informasi inilah siswa mengakses konten yang lebih bermanfaat dan juga menghasilkan konten yang lebih positif.
“Kewajiban kita terus minimalkan konten negatif, banjiri ruang digital dengan konten positif. Untuk itu kita harus tingkatkan kecakapan digital masyarakat agar mampu menciptakan lebih banyak konten kreatif yang mendidik, yang menyejukkan, dan yang menyerukan perdamaian” Presiden Jokowi dalam Twitternya
Ditulis oleh : Siti Juniarti Sutisari, S.Pd